26 Mei 2014

Bosan

Akhir-akhir ini semua hal jadi membosankan, entah kenapa? Inspirasi, ide, kreatifitas, semangat dan lingkungan sudah mulai hilang dan bahkan tidak mendukung. Hari-hari hanya jadi rutinitas yang biasa-biasa saja dan tak memiliki kesan berarti. Semuanya hanya tidak lebih dari sekedar omong kosong, tidak ada yang bisa dijadikan inspirasi untuk sesuatu yang special. Diibaratkan seperti kehidupan ayam potong yang hidup hanya makan sambil menunggu hari eksekusi.
          Niat untuk lepas dari situasi ini tentunya ada dong, mulai dari baca buku (sayang, koleksi habis), nonton (stok film sudah ditonton), rekreasi (lagi malas jalan-jalan), ngopi bareng teman (belum berhasil juga) dan usaha-usaha lain yang hasilnya masih sekedar harapan. Berharap ada perubahan agar langkah yang tertunda bisa terus dilanjutkan tanpa harus terhenti selamanya, karena banyak hal yang telah menunggu di masa depan untuk diraih.
          Mencari energi baru tidaklah mudah, semua sesuai dengan situasi, kebutuhan, keinginan, dan ketenangan jiwa. Menambah list di blog ini salah satu cara yang layak dicoba untuk benar-benar menghilangkan rasa bosan yang sudah stadium 4, meskipun hasilnya masih 50:50. Tulisan ini tidak punya arti, kesan atau maksud apa-apa, hanya sekedar solusi agar terbebas dari kejenuhan yang tidak jelas ini. Tulisan ini juga tidak punya manfaat apa-apa, apalagi berhubungan dengan politik yang lagi marak akhir-akhir ini (jelas-jelas nggak nyambung).
          Terlintas bahwa back to you came from bisa jadi acuan baru yang sifatnya benar-benar masuk akal. Mengingat-Nya adalah jawabannya karena semua berawal dan berakhir pada-Nya, dan tentulah semangat, ide, inspirasi berasal dari-Nya meskipun waktu, tempat dan dengan cara apa semua itu dating. Dengan campur tangan-Nya, biarkan itu jadi kejutan sehingga rasa yang menjemukkan ini bisa pergi.

2 Mei 2013

Pendidikan Di Negeriku

         Sekitar pukul satu siang saya meninggalkan rumah menuju tempat nongkrong dimana kawan-kawan sudah menunggu. Namun belum jauh, tepatnya di depan pintu gerbang kompleks seorang bocah yang masih mengenakan seragam putih merah dengan topi merah yang digunakan untuk melindungi dari teriknya matahari sedang memberi kode kepada setiap pengendara untuk berhenti. Berhubung tak satu pun yang memperdulikannya, kini giliran saya yang mendapatkan sambutan itu. Saya berhenti tepat di depan bocah yang berusia sekitar 9 – 10 tahun, ternyata dia butuh tumpangan untuk pulang ke rumah. Kebetulan sekali, arah rumah bocah dengan arah yang akan saya lalui ternyata sama sehingga saya membantunya dengan memberi tumpangan.

       Dalam perjalanan, saya mencoba berinteraksi dengan bocah itu tentang di mana dia bersekolah, kelas berapa dan mengapa dia bersekolah yang jarak sekolah dengan rumahnya ± 3 km padahal ada sekolah yang lebih dekat dari rumahnya. Saya terkejut ketika dengan sederhananya menjawab alasan dia bersekolah di tempat jauh karena kouta sekolah yang dekat tadi telah penuh, otomatis tidak ada pilihan lain selain sekolah yang tempatnya jauh dari rumah. asyik bercerita, tiba-tiba si bocah meminta berhenti tepat di depan sebuah warung makan. Diiringi ucapan terima kasih yang keluar dari mulutnya, dia turun kemudian melanjutkan perjalanannya melewati lorong tepat samping warung tadi yang awalnya saya mengira itu rumahnya.
     
         Saya pun melanjutkan ke tempat nongkrong karena sudah beberapa pesan singkat masuk ke ponsel menanyakan posisi. Disela perjalanan baru tersadar bahwa saat usia seperti si bocah, saya pernah berada dalam posisi yang sama dimana sering menunggu angkutan umum atau tumpangan dari orang lain ke sekolah. Karena suatu alasan saya pun harus belajar di tempat yang jaraknya jauh dari rumah. Senyum tentunya jika mengingat pengalaman itu kembali dan berdoa agar si bocah tidak bernasib seperti saya.
      
        Tiba di tempat nongkrong, langsung duduk di samping kawan saya yang tinggi besar tak lupa memesan segelas kopi. Sambil sharing, saya mencari data tentang pendidikan. Akhirnya menenumukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) anak di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan, kecuali pada jenjang SD yang persentasenya relatif hampir sama. Seperti halnya Angka Partisipasi Sekolah (APS), terlihat bahwa kesenjangan APM antara anak di perkotaan dan perdesaan semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa terdapat perbedaan kesempatan bersekolah serta sarana dan prasarana antara anak yang tinggal di daerah perkotaan dibanding anak yang tinggal daerah di perdesaan.
         
          Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung meningkat seiring bertambahnya kelompok umur. Pada kelompok umur 7-12 tahun terdapat 0,67 persen anak yang putus sekolah. Selanjutnya, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 2,21 persen dan pada kelompok umur 16-17 tahun meningkat menjadi 2,32 persen anak putus sekolah.
          
         Dari semua kelompok umur yang berbeda, anak yang bertempat tinggal di daerah perdesaan lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak yang berada di daerah perkotaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki cenderung lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pola yang sama terjadi baik pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun maupun 16-17 tahun. Jika dilihat menurut provinsi, anak yang mengalami putus sekolah terdapat di semua provinsi dengan persentase yang berbeda-beda. Pada umumnya semakin tinggi kelompok umur, semakin tinggi pula persentase anak yang putus sekolah.
          
        Permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab anak tidak sekolah. Mayoritas anak berumur 7-17 tahun tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan tidak ada biaya yaitu sebesar 49,51 persen. Faktor ekonomi juga bisa menyebabkan seorang anak harus bekerja/mencari nafkah sehingga mendorong mereka untuk tidak sekolah. Ada sebesar 9,20 persen anak yang tidak sekolah dengan alasan bekerja/mencari nafkah. Selain itu terdapat anak yang tidak bersekolah karena alasan sekolah jauh (3,87 persen), merasa pendidikan cukup (3,76 persen), cacat (3,71 persen), menikah/mengurus rumah tangga (3,05 persen), malu karena ekonomi (1,25 persen), menunggu pengumuman (0,61 persen), tidak diterima (0,42 persen), dan sisanya adalah alasan lainnya (24,62 persen).

Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Bab VI Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Untuk menunjang program wajib belajar tersebut, pemerintah telah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada dasarnya bertujuan untuk meringankan beban semua siswa dan membebaskan siswa miskin dari kewajiban membayar uang sekolah. Namun, seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa persentase anak usia 7-17 tahun yang tidak bersekolah dengan alasan tidak ada biaya relatif masih tinggi. Kondisi ini mencerminkan bahwa program sekolah gratis untuk tingkat pendidikan dasar yang didengungkan pemerintah, ternyata belum sepenuhnya terealisasi dan dinikmati oleh masyarakat luas.

Di sisi lain, juga masih ditemukan alasan anak yang tidak bersekolah karena sekolah jauh. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas (seperti wilayah pedalaman) dimana sarana transportasi tidak memadai dan jumlah sekolah yang terbatas menjadi pendorong mereka tidak/belum sekolah atau tidak bersekolah lagi. Hal ini mengindikasikan belum meratanya fasilitas sekolah yang dapat diakses oleh penduduk sehingga menyebabkan anak tidak dapat bersekolah.

Meskipun si bocah bukan bagian dari anak putus sekolah dan berharap tidak terjadi padanya, namun hal ini menggambarkan bahwa pendidikan masih saja banyak yang perlu dibenahi agar cita-cita penerus bangsa ini yang merupakan faktor utama keberhasilan yang berkualitas bisa berbicara banyak untuk kemajuan bersama.

26 Apr 2013

Kekerasan Kaum Intelektual



                 Maraknya tindakan kekerasan di Indonesia menjadi masalah besar yang harus segera diatasi. Ini menggambarkan seolah-olah kekerasan sebagai budaya yang mendarah daging dan turun-temurun. Seakan-akan setiap masalah harus diselesaikan dengan kekerasan. Tragis dan ironis melihat bangsa ini yang jadi “tranding topic” bukan karena prestasinya tapi efek dari segala kekerasan. Ketika bangsa ini sedang berjuang untuk sebuah kesejahteraan rakyat, kekerasan pun ikut tumbuh subur dan sudah menyentuh segala aspek kehidupan. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan hingga telah meraba pada aspek agama.
                 Jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia meningkat cukup drastis sepanjang tahun 2011 hingga saat ini. Menurut data yang diperoleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), kasus kekerasan mencapai lima juta kasus. Indonesia menyimpan potensi konflik sangat besar yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan. Dari kajian Lemhannas, diperoleh fakta konflik terjadi karena kondisi-kondisi yang memicu terciptanya konflik ada di sekeliling kita. Salah satu adalah kesenjangan sosial.
Pada dunia pendidikan, kekerasan menjadi perusak warna prestasi dan mengakibatkan berbagai macam kerugian. Dan tentunya harga mati untuk segera diselesaikan. Kekerasan antar siswa, kekerasan antar mahasiswa, apalagi mengatasnamakan daerah telah menjadi fenomena yang benar-benar merusak citra dunia pendidikan Indonesia. Kekerasan semacam ini tidak menggambarkan bahwa mahasiswa itu kaum intelektual yang sesungguhnya, namun seakan-akan menggambarkan kembali ke zaman batu dimana berlakunya hukum rimba, siapa yang terhebat dialah rajanya atau hukum adat yang mana darah harus dibayar dengan darah. Ketika hal ini menjadi sebuah akar dari sebuah ideologi maka bangsa ini akan menuju kehancuran dini karena para penerus bangsa harus terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkata kepada putranya sebelum beliau meninggal, bahwa “Berhati-hatilah pada pertumpahan darah. Jangan pernah percayakan hidup kalian cara tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah tidur sehingga selalu menyisakan dendam”.
Biasanya akar dari masalah kekerasan antar mahasiswa adalah persoalan sepele yang bisa diselesaikan secara baik-baik, tapi kondisi emosi lebih menguasai daripada berpikir rasional dan bijak mengakibatkan adu fisik menjadi jalan pintas yang awalnya hanya orang per orang akan meluas menjadi antar kelompok atau golongan. Akibatnya banyak yang dirugikan mulai dari pihak yang bertikai sampai pihak yang tidak terlibat bahkan bisa memakan korban dari luka ringan, berat hingga merenggut nyawa. Kerugian material pun tidak luput dari keganasan emosi yang telah lepas kendali.
Jika kita analisa, solidaritas menjadi alasan tergeraknya massa sebagai rasa kepedulian antar sesama. Namun kata solidaritas ini diaplikasikan salah oleh kawan-kawan. Jika kita bisa mengaplikasikan kata solidaritas itu pada hal yang positif, maka tentunya gebrakan baru akan tercipta dan sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah prestasi.
Sebagai kaum intelektual yang akan meneruskan roda perjuang bangsa, tentunya duduk dalam satu meja dengan kepala dingin menjadi salah satu solusi agar masalah dapat terselesaikan tanpa ada kekerasan. Berpikir cerdas, rasional dan bijak yang harus dijadikan alat dalam penyelesaikan masalah agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jangan jadikan kekerasan sebagai perusak jalan kreatifitas dan inovatif menuju cahaya keberhasilan.