26 Apr 2013

Kekerasan Kaum Intelektual



                 Maraknya tindakan kekerasan di Indonesia menjadi masalah besar yang harus segera diatasi. Ini menggambarkan seolah-olah kekerasan sebagai budaya yang mendarah daging dan turun-temurun. Seakan-akan setiap masalah harus diselesaikan dengan kekerasan. Tragis dan ironis melihat bangsa ini yang jadi “tranding topic” bukan karena prestasinya tapi efek dari segala kekerasan. Ketika bangsa ini sedang berjuang untuk sebuah kesejahteraan rakyat, kekerasan pun ikut tumbuh subur dan sudah menyentuh segala aspek kehidupan. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan hingga telah meraba pada aspek agama.
                 Jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia meningkat cukup drastis sepanjang tahun 2011 hingga saat ini. Menurut data yang diperoleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), kasus kekerasan mencapai lima juta kasus. Indonesia menyimpan potensi konflik sangat besar yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan. Dari kajian Lemhannas, diperoleh fakta konflik terjadi karena kondisi-kondisi yang memicu terciptanya konflik ada di sekeliling kita. Salah satu adalah kesenjangan sosial.
Pada dunia pendidikan, kekerasan menjadi perusak warna prestasi dan mengakibatkan berbagai macam kerugian. Dan tentunya harga mati untuk segera diselesaikan. Kekerasan antar siswa, kekerasan antar mahasiswa, apalagi mengatasnamakan daerah telah menjadi fenomena yang benar-benar merusak citra dunia pendidikan Indonesia. Kekerasan semacam ini tidak menggambarkan bahwa mahasiswa itu kaum intelektual yang sesungguhnya, namun seakan-akan menggambarkan kembali ke zaman batu dimana berlakunya hukum rimba, siapa yang terhebat dialah rajanya atau hukum adat yang mana darah harus dibayar dengan darah. Ketika hal ini menjadi sebuah akar dari sebuah ideologi maka bangsa ini akan menuju kehancuran dini karena para penerus bangsa harus terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkata kepada putranya sebelum beliau meninggal, bahwa “Berhati-hatilah pada pertumpahan darah. Jangan pernah percayakan hidup kalian cara tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah tidur sehingga selalu menyisakan dendam”.
Biasanya akar dari masalah kekerasan antar mahasiswa adalah persoalan sepele yang bisa diselesaikan secara baik-baik, tapi kondisi emosi lebih menguasai daripada berpikir rasional dan bijak mengakibatkan adu fisik menjadi jalan pintas yang awalnya hanya orang per orang akan meluas menjadi antar kelompok atau golongan. Akibatnya banyak yang dirugikan mulai dari pihak yang bertikai sampai pihak yang tidak terlibat bahkan bisa memakan korban dari luka ringan, berat hingga merenggut nyawa. Kerugian material pun tidak luput dari keganasan emosi yang telah lepas kendali.
Jika kita analisa, solidaritas menjadi alasan tergeraknya massa sebagai rasa kepedulian antar sesama. Namun kata solidaritas ini diaplikasikan salah oleh kawan-kawan. Jika kita bisa mengaplikasikan kata solidaritas itu pada hal yang positif, maka tentunya gebrakan baru akan tercipta dan sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah prestasi.
Sebagai kaum intelektual yang akan meneruskan roda perjuang bangsa, tentunya duduk dalam satu meja dengan kepala dingin menjadi salah satu solusi agar masalah dapat terselesaikan tanpa ada kekerasan. Berpikir cerdas, rasional dan bijak yang harus dijadikan alat dalam penyelesaikan masalah agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jangan jadikan kekerasan sebagai perusak jalan kreatifitas dan inovatif menuju cahaya keberhasilan.