Maraknya
tindakan kekerasan di Indonesia menjadi masalah besar yang harus segera
diatasi. Ini menggambarkan seolah-olah kekerasan sebagai budaya yang mendarah
daging dan turun-temurun. Seakan-akan setiap masalah harus diselesaikan dengan
kekerasan. Tragis dan ironis melihat bangsa ini yang jadi “tranding topic” bukan karena prestasinya tapi efek dari segala
kekerasan. Ketika bangsa ini sedang berjuang untuk sebuah kesejahteraan rakyat,
kekerasan pun ikut tumbuh subur dan sudah menyentuh segala aspek kehidupan. Mulai
dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan hingga telah meraba
pada aspek agama.
Jumlah
kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia meningkat cukup drastis sepanjang
tahun 2011 hingga saat ini. Menurut data yang diperoleh Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas), kasus kekerasan mencapai lima juta kasus. Indonesia
menyimpan potensi konflik sangat besar yang berasal dari berbagai dimensi
kehidupan. Dari kajian Lemhannas, diperoleh fakta konflik terjadi karena
kondisi-kondisi yang memicu terciptanya konflik ada di sekeliling kita. Salah
satu adalah kesenjangan sosial.
Pada dunia pendidikan, kekerasan menjadi perusak warna
prestasi dan mengakibatkan berbagai macam kerugian. Dan tentunya harga mati
untuk segera diselesaikan. Kekerasan antar siswa, kekerasan antar mahasiswa,
apalagi mengatasnamakan daerah telah menjadi fenomena yang benar-benar merusak
citra dunia pendidikan Indonesia. Kekerasan semacam ini tidak menggambarkan
bahwa mahasiswa itu kaum intelektual yang sesungguhnya, namun seakan-akan menggambarkan
kembali ke zaman batu dimana berlakunya hukum rimba, siapa yang terhebat dialah
rajanya atau hukum adat yang mana darah harus dibayar dengan darah. Ketika hal
ini menjadi sebuah akar dari sebuah ideologi maka bangsa ini akan menuju
kehancuran dini karena para penerus bangsa harus terjebak dalam lingkaran
kekerasan.
Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi berkata kepada putranya sebelum
beliau meninggal, bahwa “Berhati-hatilah pada pertumpahan darah. Jangan pernah
percayakan hidup kalian cara tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah
tidur sehingga selalu menyisakan dendam”.
Biasanya akar dari masalah kekerasan antar mahasiswa adalah
persoalan sepele yang bisa diselesaikan secara baik-baik, tapi kondisi emosi
lebih menguasai daripada berpikir rasional dan bijak mengakibatkan adu fisik
menjadi jalan pintas yang awalnya hanya orang per orang akan meluas menjadi
antar kelompok atau golongan. Akibatnya banyak yang dirugikan mulai dari pihak
yang bertikai sampai pihak yang tidak terlibat bahkan bisa memakan korban dari
luka ringan, berat hingga merenggut nyawa. Kerugian material pun tidak luput
dari keganasan emosi yang telah lepas kendali.
Jika kita analisa, solidaritas menjadi alasan tergeraknya
massa sebagai rasa kepedulian antar sesama. Namun kata solidaritas ini
diaplikasikan salah oleh kawan-kawan. Jika kita bisa mengaplikasikan kata
solidaritas itu pada hal yang positif, maka tentunya gebrakan baru akan tercipta
dan sejarah akan mencatatnya sebagai sebuah prestasi.
Sebagai kaum intelektual yang akan meneruskan roda perjuang
bangsa, tentunya duduk dalam satu meja dengan kepala dingin menjadi salah satu
solusi agar masalah dapat terselesaikan tanpa ada kekerasan. Berpikir cerdas,
rasional dan bijak yang harus dijadikan alat dalam penyelesaikan masalah agar
tidak ada pihak yang dirugikan. Jangan jadikan kekerasan sebagai perusak jalan kreatifitas
dan inovatif menuju cahaya keberhasilan.